“Tiada kekayaan yang lebih utama
daripada nalar. Tiada kepapaan yang lebih menyedihkan daripada kebodohan
(ketidakpedulian). Tiada warisan yang lebih baik daripada pendidikan,”
-- Ali Bin Abi Thalib.
Saya melihat dua gunung menjulang tinggi di
hadapan. Gunung yang satu sangat subur, hijau kaya akan hutan.Orang-orang
memelihara gunung ini ---mungkin dengan baik. Budidaya apapun dapat dilakukan
di gunung ini, tanaman apapun dapat tumbuh sehat dan kuat. Gunung yang lainnya,
gersang dan tandus. Karena keterbatasan “sumber daya” termasuk niat, visi, ketabahan dan keberanian, kebanyakan
orang-orang cenderung mengabaikannya. Padahal mungkin di gunung yang gersang
ini terdapat juga berbagai potensi. Bukan mungkin, saya yakin itu ada, mungkin
emas, mungkin intan, mungkin mineral yang lain saya tidak tahu apa, tapi saya
yakin potensi itu ada. Karena saya yakin Tuhan menciptakan semesta dengan
alasannya.
Ketika Tuhan menawarkan dua gunung ke
hadapan kita, lalu kita hanya mensyukuri satu gunung di antaranya, tidakkah
kita membatasi diri kita sendiri dari manfaat yang tengah Tuhan tawarkan?
Kawan, kedua gunung tadi adalah potret
saudara-saudara kita di sini, di sekitar kita di tanah air kita.
Saudara-saudara kita yang mampu dapat menyekolahkan, menggali potensi anak-anak
mereka, di sekolah-sekolah yang CUKUP. Cukup fasilitas, cukup tenaga pendidik ?baik dalam hal jumlah maupun mutu. Saudara-saudara kita yang lain,
tidak seperti itu. Kalaupun mereka dapat menyekolahkan anak-anaknya, sekolah
anak-anak mereka semuanya serba terbatas.
Bayangkan 6 tahun masa pendidikan mereka.
Anak-anak dari saudara kita yang mampu tentu lulus dengan kualifikasi tertentu,
sedangkan anak-anak dari saudara kita yang tidak mampu tentunya lulus dengan
kualifikasi yang terbatas pula. Lahir lah kesenjangan dari pemberian KESEMPATAN
yang berbeda dan kurang “fair” ini. Dan kesenjangan ini akan semakin lebar seiring dengan mereka
melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Anak-anak gunung hijau
masuk ke SMP, SMU, atau perguruan tinggi yang TOP. Anak-anak gunung tandus
masuk ke SMP serba terbatas, kalau nasib sedikit berpihak, mereka terus sampai
SMK terbatas pula. Kebanyakan mereka gugur di SMP, jadi tukang ojeg, cleaning
service, satpam atau preman. Mereka melanjutkan keturunan, dan anak-anak mereka
kurang lebih seperti itu pula, dan terbentuklah mata rantai yang kita lihat
sekarang.
Semua anak-anak Ibu Pertiwi adalah sumber
daya negeri yang sangat berharga ---brainware, baik mereka yang dari
gunung hijau maupun dari gunung tandus. Sumber daya negeri ini lebih tinggi
nilainya dari emas di Irian, lebih berharga dari hutan kayu di Kalimantan.
Mereka adalah pemimpin masa depan. Runtuh bangunnya negeri ini kelak ada di
tangan mereka, dan lemah tangguhnya mereka itu sangat tergantung bagaimana kita
sekarang mempersiapkannya. Teman-teman yang dulu sekolah di negeri Sakura
mungkin bisa mengamati bagaimana orang-orang Jepang menyediakan sarana belajar
untuk anak-anak mereka. Bangunannya sangat kokoh bahkan boleh dibilang overstructured,...
semua sekolah bahkan menjadi tempat evakuasi kalau terjadi bencana, karena
memang sangat aman. Mereka benar-benar melindungi (mensyukuri) sumber daya
negeri mereka ---anak2 mereka.Belum lagi semangat dan tulusnya guru-guru
mereka.
Saya yakin kita semua setuju bahwa tidak
ada seorangpun anak yang memilih untuk lahir di keluarga gunung tandus. Memang
tanggung jawab terbesar untuk anak-anak terletak pada kedua orang tuanya, yang
telah mengajak mereka individu2 yang suci lahir dan menyaksikan dunia yang
pelik penuh kontradiksi ini. Tetapi saya kira ada juga tanggung jawab sosial
atau porsi yang perlu kita lakukan bersama, kalau kita memang mau membangun
negeri ini dan menciptakan dunia yang lebih damai dan sejahtera.
---------------------------------
Kampung Koceak, Desa Keranggan, Kecamatan
Setu, Kota Tangerang Selatan, berdampingan dengan Puspiptek, berjarak sekitar 8
km dari Bumi Serpong Damai, Big City Big Opportunity dan sekitar 25 km
dari Jantung Ibukota Jakarta. Kampung ini merupakan tipikal kampung-kampung di
Indonesia. Kurang lebih enam ribu (6000) kepala keluarga berpenghasilan
rata-rata Rp. 15,000 perhari. Jauh lebih rendah dari definisi masyarakat BOP
(Base or Bottom of Pyramid) menurut UNDP, mereka adalah sebagian dari
saudara-saudara kita dari masyarakat gunung tandus. Ada dua Sekolah Dasar atau
sederajat di sini, satu SDN dan satu MI. Mereka adalah tipikal SD dan MI di
Indonesia, semua fasilitas serba terbatas.
SDN dan MI ini termasuk sebagian dari
sekolah-sekolah yang kami bantu. Kami bagikan alat-alat tulis, buku, alat olah
raga dan infaq untuk sekolah ini. Kami juga pernah mengajak mahasiswa2 Jepang
calon guru untuk berinteraksi dengan murid2nya. Mereka sangat senang, hanya
dengan kehadiran orang asing dapat berinteraksi dengan mereka. Karena bagi
mereka dan orang tua mereka mungkin Jepang masih merupakan “alam gaib”, sama seperti akherat untuk kita. Mereka
tahu dan percaya itu ada, hanya karena seseorang yang bisa mereka percaya
mengatakannya demikian.
Dari sekian lama berinteraksi dengan
Masyarakat di sini, tahun 2010, kami memberanikan diri membina satu sekolah,
yaitu Sekolah Hikari. Mudah2an menjadi komplemen sinergis bagi sekolah yang ada
dan sekaligus alternatif bagi anak-anak di sekitar.
Sekolah Hikari adalah sekolah umum, sekolah
rakyat, sekolah anak negeri. Tidak untuk ras tertentu, tidak untuk umat
tertentu. Kurikulum dikembangkan mengacu kepada Standard Isi tahun 2006 menurut
BSNP, dengan menitik-beratkan pada pendidikan karakter pada tiga tahun pertama
dan literasi pada tahun ke empat dan seterusnya. Sistem pendidikan di Sekolah
Hikari diarahkan dengan mempertimbangkan multiple intelligence and accelerated
learning. And learning has to be fun. Tata kelola pendidikan dan
pembelajaran didukung oleh tenaga2 ahli pendidikan dari Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah dan Human Development Faculty of Toyama
University. Kurikulumnya juga diperkaya dengan pendidikan lingkungan, mulai
dari pengelolaan sampah, sumber daya air dan kearifan lokal.
Tidak ada rangking di Sekolah Hikari. Tidak
ada tinggi hati karena rangking atas, tidak ada rendah diri karena rangking
bawah. Semua anak adalah unik dan berbeda. Mereka diharapkan mempunyai motivasi
untuk mencapai apa yang mereka inginkan bukan motivasi untuk memiliki peringkat
lebih dari yang lain atau mengalahkan yang lain. Mereka diharapkan mampu dulu
memimpin diri mereka masing-masing. Ada muslim time untuk yang beragam Islam,
ekskul Bahasa Jepang dan musik. Pengenalan Bahasa Jepang diselenggarakan bukan
menuntut si kecil untuk fasih berbahasa Jepang, melainkan untuk menstimulasi linguistic
intelligence mereka, sehingga dapat mengaktivasi
intelligence yang lain seperti logic,
berhitung dan lainnya. Dan,...kembali ini juga hanya memanfaatkan sumber daya
yang sementara kami miliki sekarang. Beberapa volunteer orang Jepang mau
berbagi waktu untuk kami.
Sekolah Hikari dibangun dengan
mempertimbangkan konsep kelestarian lingkungan. Tinggi rendah kontur tanah
tidak diratakan, malah dimanfaatkan untuk perkembangan baik motorik anak-anak.
Mainan terbuat dari bambu dan ban bekas. Karena memang mampu kami baru seperti
ini, dan anak-anak diharapkan mengenal konsep "kearifan lokal" sejak
dini. Ventilasi dan letak pohon diatur sedemikian rupa sehingga sirkulasi udara
dalam kelas terjadi secara konveksi alami hemat energi. Sistem drainase atau
rain water run-off, hanyalah saluran berbatu bukan gorong2 beton. Saluran
berbatu pun hanya memanfaatkan spanduk bekas yang dibolongin, bukan landscape
fabrics yang mahal. Air hujan diharapkan ada yang meresap ke tanah tidak semua
mengalir begitu saja.
Sekolah Hikari dibangun untuk memperluas kesempatan kepada anak2
negeri mengenyam pendidikan dalam persaingan yang lebih “fair”. Tetapi kembali, kadang dalam hidup,
kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan sehingga kita tidak dapat
membangun sesuatu yang ideal, menurut kita. Tetapi kita harus “deal with it”, karena yang kita
harus kerjakan bukanlah membangun sesuatu yang “ideal”, melainkan melakukan yang terbaik dalam
keterbatasan sumber daya yang ada.
Kini 132 anak bermain sambil belajar di
Sekolah Hikari. 5 kelompok TK sebanyak 68 anak dan 2 rombel SD sebanyak 64
anak. Biaya masuk Sekolah Hikari untuk SD Rp. 1.6 jt bisa dicicil 10 bulan.
Sekolah swasta lain ada yang berkisar 15-22 juta dan harus dicicil mungkin
dalam waktu sebulan.
Biaya bulanan sekolah Hikari Rp. 105
rb, Sekolah swasta yang lain dapat
berkisar antara 600 ribu hingga 1 juta. Ini sekedar ilustrasi saja mengenai
sekolah-sekolah yang dianggap baik dari segi fasilitas untuk anak2 kita. Untuk
masyarakat lokal, Sekolah Hikari memberikan keringanan 20% iuran bulanan,
sisanya yang 80% atau sekitar Rp. 80 rb, boleh dibayar dengan kotoran kambing,
sapi atau kompos yang senilai. Bagi mereka yang dengan kotoran kambing/sapi pun
tidak bisa, mereka bisa membayarnya dengan tenaga, 2 hari dalam sebulan, kerja
bakti bantuin tukang kebun Sekolah (Pak Fadil).
Di desa Keranggan tidak ada SMP, di
Kecamatan Setu ada 1 SMP Negeri, 1 Swasta dan 2 Madrasah Tsanawiyah. Keempat
SMP atau sederajat ini tidak dapat menampung seluruh siswa lulusan SD di
wilayah Kecamatan Setu. Mereka hanya mampu menampung sekitar 1300 anak, padahal
anak-anak usia SMP di wilayah ini berjumlah sekitar 2900 orang. Mereka yang
tidak dapat melanjutkan di SMP terdekat harus ke luar kecamatan, bahkan mungkin
ada yang harus berhenti karena di tambah dengan alasan ekonomi.
Heartful smile adalah project berikutnya
sekolah Hikari ?membangun sekolah menengah pertama
terutama untuk anak-anak wilayah ini. Mari kita lanjutkan upaya kita sehingga
anak-anak tetap mempunyai mimpi, cita-cita dan harapan masa depan yang lebih
baik.
|